-->
Industri
kerajinan kulit merupakan salah satu aset kebanggaan Kabupaten Magetan. Sentra
industri kerajinan kulit di Kabupaten Magetan terletak di Desa Ringinagung
Kecamatan Magetan, Desa Mojopurno, Desa Banjarejo dan beberapa desa/kelurahan
yang lain. Jenis produk yang dihasilkan antara lain kulit box dan tasleer.
Proses
Mineral
Kelompok/sentra
penyamakan kulit dengan sistem proses kimia yang dipusatkan di Desa Ringinagung
Kecamatan Magetan/Lingkungan Industri Kecil (LIK). Bahan baku : kulit merah
(kulit Sapi, kulit Domba, Kambing dan lain-lain). Hasil proses produksi : kulit
box, kulit jok, kulit bax domba/kambing dan lain-lain.
Proses
Nabati
Kelompok/sentra
penyamakan kulit dengan sistem nabati berada di 2 area yaitu : Desa Mojopurno
dan Desa Banjarejo. Bahan baku : kulit merah (kulit Sapi, Domba, Kambing dan
lain-lain). Hasil proses produksi : kulit tasleer, kulit janget, kulit sol,
kulit lapis kambing/sol.
Proses
awal terdiri atas peredaman (untuk mengembalikan kadar air yang hilang selama
proses pengeringan sebelumnya, kulit basah lebi mudah bereaksi dengan bahan
kimia penyamak, membersihkan dari sisa kotoran, darah, garam yang masih melekat
pada kulit), Pengapuran (membengkakan kulit untuk melepas sisa daging,
menyabunkan lemak pada kulit, pembuangan sisik, pembuangan sisa daging,
pembuatan kapur (deliming) (untuk menghilangkan kapur dan menetralkan kulit
dari suasana basa, menghindari pengerutan kulit, menghindari timbulnya endapan
kapur), pengikisan protein, pengasaman (picle) (untuk memberikan suasana asam
pada kulit sehingga lebih sesuai dengan senyawa penyamak dan kulit lebih tahan
terhadap serangga bakteri pembusuk). Pada kulit sapi dilakukan proses
pembuangan bulu menggunakan senyawa Na2S.
Sesuai
dengan jenis kulitnya, tahapan proses penyamakan bisa berbeda. Kulit dibagi
atas 2 golongan yaitu hide (untuk kulit dari binatang besar seperti kulit sapi,
kerbau, kuda dan lain-lain), dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dan
lain-lain). Jenis zat penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang
diperolah. Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat muda atau
kemerahan, bersifat agak kaku tapi empuk, kurang tahan terhadap panas. Penyamak
mineral paling umum menggunakan krom. Penyamakan krom menghasilkan kulit yang
lebih lembut/lemes, dan lebih tahan terhadap panas. Lewat proses penyamakan,
dilakukan proses pemeraman yaitu menumpuk atau menggantung kulit selama 1
(satu) malam dengan tujuan untuk menyempurnakan reaksi antara molekul bahan penyamak
dengan kulit.
Proses
penyelesaian (finishing) adalah untuk menentukan kualitas hasil akhir
(leather). Terdiri atas beberapa tahapan proses yang bervariasi sesuai dengan
jenis kulit, bahan penyamak yang digunakan, dan kualitas akhir yang diingingkan.
Proses finishing akan membentuk sifat-sifat khas pada kulit seperti,
kelenturan, kepadatan, dan warna kulit. Proses perataan (setting out) bertujuan
untuk menghilangkan lipatan-lipatan yang terbentuk selama proses sebelumnya dan
mengusahakan terciptanya luasan kulit yang maksimal. Proses perataan sekaligus
juga akan mengurangi kadar air karena kandungan air dalam kulit akan tergolong
keluar (striking out). Beberapa proses lanjutan lainnya adalah pengeringan
(mengurangi kadar air kulit sampai batas standar biasannya 18-20 %), pelembaban
(menaikan kandungan air bebas dalam kulit untuk persiapan perlakukan fisik di
proses lanjutan), pelemasan (melemaskan kulit dan mengembalikan kerutan-kerutan
sehingga luasan kulit menjadi normal kembali), pementangan (untuk menambah
luasan kulit), pengamplasan (untuk menghaluskan permukaan kulit). Kulit samakan
bisa di cat untuk memperindah tampilan kulit.
Teknologi Pengawetan Dan Pengolahan Kulit
Teknologi Pengawetan Dan Pengolahan Kulit
Pendahuluan
Pemanfaatan kulit
ternak /hewan untuk kepentingan manusia itu berjalan searah dengan
perkembangan peradaban manusia. Dari keseluruhan produk sampingan hasil
pemotongan ternak, maka kulit merupakan produk yang memiliki nilai
ekonomis yang paling tinggi. Berat kulit pada sapi, kambing dan
kerbau memiliki kisaran 7-10% dari berat tubuh Secara ekonomis kulit memiliki
harga berkisar 10-15% dari harga ternak .
Sejak masa
prasejarah pemanfaatan kulit telah dikenal oleh masyarakat. Hal
tersebut terbukti dari peninggalan tertulis maupun pahatan/relief pada batu
yang menunjukkan bagaimana proses pengolahan kulit dan kegunaannya pada manusia
sebagai pakaian serta rumah tenda dari bahan kulit (bangsa Indian).Di
Semenanjung Asia terutama India dan China ditemukan bukti tertulis.
Di Afrika khususnya Mesir ditemukan pakaian dari kulit yang dipakai untuk
membungkus mummy. Di Eropa, pengembaraan bangsa Moor telah
membawa budayanya sampai Spanyol sehingga teknologi pengolahan kulit berkembang
sampai negara-negara Eropa lainnya. Di Museum Berlin disimpan batu yang
menggambarkan proses pengolahan kulit harimau. Demikian pula di British
Museum kini tersimpan pakaian dan sepatu dari kulit (mummy) dari masa
prasejarah. Perkembangan proses pengolahan kulit secara sederhana dan
pemanfaatannya di Asia disebarkan ke Asia dan Afrika oleh
Marcopolo.
Potensi hasil ikutan berupa kulit di Indonesia masih sangat besar, hal ini disebabkan masih sedikitnya industri besar yang mengelola secara intensif. Kalaupun ada kapasitasnya belum mampu memenuhi permintaan pasar. Sebagai contoh industri kulit hanya mampu menghasilkan 350.000.000 sqft/tahun sedangkan permintaan untuk industri alas kaki maupun untuk barang jadi sebesar 673.000.000 sqft/tahun sehingga setiap tahunnya terjadi kekurangan 323.000.000 sqft.
Sebelum era krisis moneter, pihak pemerintah dengan syarat tertentu masih mengizinkan industri-industri penyamakan kulit untuk mengimpor kulit mentah dan awetan dari luar negeri, dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kulit dalam negeri yang sepenuhnya belum mencukupi. Namun demikian sejak dimulainya krisis moneter, pemerintah akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan untuk melarang impor kulit mentah maupun kulit setengah jadi dari luar negeri dengan alasan tingginya harga dasar barang (naik + 300-400%) dan pajak impor yang harus ditanggung oleh importir akibat fluktuasi rupiah oleh mata uang asing. Dengan langkah kebijakan tersebut para pengusaha dalam negeri tentunya harus menyediakan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Masalah yang timbul, apakah mutu kulit mentah maupun kulit awetan yang dihasilkan oleh masyarakat di dalam negeri sudah memenuhi standar yang sesuai atau paling tidak telah mendekati standar kualitas yang telah ditetapkan . Sebuah fenomena yang patut kita ingat bahwa pada saat industri perkulitan mengalami kejayaan pesat, ekspor kulit samak (leather) merupakan sumber devisa negara non migas selain kayu, tekstil dan elektronik. Berdasarkan gambaran tersebut, tentunya banyak hal yang harus dikaji dan terpulang kepada, bagaimana perkembangan ilmu dan teknologi khususnya ilmu dan teknologi pengolahan kulit ke depan serta kualitas SDM peternakan yang dimiliki. Pada bagian-bagian selanjutnya akan dikaji mengenai teknik penanganan dan pengolahan pada kulit.
Potensi hasil ikutan berupa kulit di Indonesia masih sangat besar, hal ini disebabkan masih sedikitnya industri besar yang mengelola secara intensif. Kalaupun ada kapasitasnya belum mampu memenuhi permintaan pasar. Sebagai contoh industri kulit hanya mampu menghasilkan 350.000.000 sqft/tahun sedangkan permintaan untuk industri alas kaki maupun untuk barang jadi sebesar 673.000.000 sqft/tahun sehingga setiap tahunnya terjadi kekurangan 323.000.000 sqft.
Sebelum era krisis moneter, pihak pemerintah dengan syarat tertentu masih mengizinkan industri-industri penyamakan kulit untuk mengimpor kulit mentah dan awetan dari luar negeri, dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kulit dalam negeri yang sepenuhnya belum mencukupi. Namun demikian sejak dimulainya krisis moneter, pemerintah akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan untuk melarang impor kulit mentah maupun kulit setengah jadi dari luar negeri dengan alasan tingginya harga dasar barang (naik + 300-400%) dan pajak impor yang harus ditanggung oleh importir akibat fluktuasi rupiah oleh mata uang asing. Dengan langkah kebijakan tersebut para pengusaha dalam negeri tentunya harus menyediakan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Masalah yang timbul, apakah mutu kulit mentah maupun kulit awetan yang dihasilkan oleh masyarakat di dalam negeri sudah memenuhi standar yang sesuai atau paling tidak telah mendekati standar kualitas yang telah ditetapkan . Sebuah fenomena yang patut kita ingat bahwa pada saat industri perkulitan mengalami kejayaan pesat, ekspor kulit samak (leather) merupakan sumber devisa negara non migas selain kayu, tekstil dan elektronik. Berdasarkan gambaran tersebut, tentunya banyak hal yang harus dikaji dan terpulang kepada, bagaimana perkembangan ilmu dan teknologi khususnya ilmu dan teknologi pengolahan kulit ke depan serta kualitas SDM peternakan yang dimiliki. Pada bagian-bagian selanjutnya akan dikaji mengenai teknik penanganan dan pengolahan pada kulit.
A. Teknologi
Pengawetan pada Kulit Mentah
Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit. Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai tingkat serendah mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk tumbuh (± 5-10%).
Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit. Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai tingkat serendah mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk tumbuh (± 5-10%).
Pengawetan kulit
memiliki beberapa tujuan antara lain :
1. Mempertahankan struktur
dan keadaan kulit dari pengaruh lingkungan untuk sementara waktu sebelum
dilakukan proses pengolahan/penyelesaian
2. Untuk tujuan penyimpanan
dalam waktu yang relatif lebih lama
3. Agar kulit dapat terkumpul
sehingga dapat dikelompokkan menurut besar dan kualitasnya serta mengantisipasi
terjadinya over produksi karena stok kulit yang terlalu banyak
Secara umum proses pengawetan kulit mentah yang dikenal di
Indonesia terdiri atas 4 macam, yakni :
1. Pengawetan dengan cara
pengeringan + zat kimia
2. Pengawetan dengan cara
kombinasi penggaraman dan pengeringan
3. Pengawetan dengan cara
garam basah
4. Pengawetan dengan cara
pengasaman (pickling)
1. Pengawetan dengan cara pengeringan + zat kimia
Kulit segar yang
baru dilepas dari ternak selanjutnya dilakukan pengawetan dengan maksud untuk
mengurangi kadar air yang terdapat dalam kulit hingga mencapai batas minimum
kadar air yang diperlukan untuk persyaratan hidup bakteri perusak.
Adapun urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
a. Pencucian dan
pembuangan daging
Kulit yang baru
dilepas dicuci dengan air mengalir dan kelebihan daging maupun lemak yang masih
melekat dibuang. Pisau yang digunakan harus tajam dan bentuknya
melengkung untuk mencegah robeknya kulit. Setelah semua lemak dan daging
telah bersih selanjutnya dicuci kembali dengan air mengalir
b.
Pengetusan (Pentirisan)
Kulit yang telah
dicuci kemudian disampirkan atau ditiriskan diatas kuda-kuda kayu dan dibiarkan
menetes selama 30 menit.
c. Pemberian zat kimia
Kulit direndam
dalam bak yang berisi zat kimia jenis Natrium Arsenat 0,5%
selama 5-10 menit. Setelah proses tersebut selesai, kulit masih
disampirkan diatas bak agar sisa-sisa zat kimia masih tetap menetes
kembali ke dalam bak
d.
Pementangan
Setelah zat kimia
menetes dengan baik, kulit dipentang dan ditarik dengan tali pada kerangka kayu
(pentangan kulit). Pentangan untuk kulit sapi, kerbau maupun kuda
menggunakan kayu bulat dengan diameter kira-kira 5-10 cm yang menyerupai model
bingkai gambar. Ukuran panjang maupun lebarnya disesuaikan dengan kondisi
kulit dengan acuan bahwa pentangan tersebut dapat menampung luas maksimal dari
kulit. Kulit yang akan dipentang dilubangi pada bagian pinggirnya dengan
jarak kira-kira 2-3 cm dari batas pinggir kulit dan ditarik hingga posisi kulit
terpentang dengan sempurna tanpa adanya pengkerutan dan pelipatan pada bagian
pinggir maupun tengah. Proses pementangan untuk kulit kecil seperti
domba, kambing maupun reptil dapat dilakukan diatas papan dan teknik
pementangannya tidak perlu menggunakan tali tapi cukup dilakukan dengan menggunakan
paku
e. Pengeringan
Kulit yang telah
dipentang selanjutnya siap untuk dijemur. Proses pengeringan tidak boleh
dilakukan terlalu cepat, sebab zat-zat kulit pada lapisan luar akan mengering
lebih cepat dibanding pada bagian dalam dari kulit.
Temperatur yang
terlalu tinggi menyebabkan zat-zat kulit (kolagen) mengalami prosesgelatinisasi menjadi
gelatin yang bersifat mengeras dan tentunya dapat menghalangi proses penguapan
air pada bagian dalam. Bila hal tersebut terjadi mengakibatkan kulit akan
membusuk pada saat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
mengantisipasi hal tersebut beberapa petunjuk teknis sederhana tentang posisi
letak kulit dalam proses penjemuran kulit dibawah sinar matahari.
Penjemuran pertama
dimulai pada bagian daging (flesh). Pukul 09.00-11.00 dan pukul
15.00-17.00 penjemuran dilakukan dengan arah sinar matahari tegak lurus dengan
permukaan kulit. Pada waktu siang hari yaitu pukul 11.00-15.00 penjemuran
dengan arah sinar matahari sejajar dengan arah datangnya sinar matahari.
Bila kulit pada bagian dagingnya telah kering, maka posisi kulit dapat dibolak
balik sedemikian rupa hingga semua pengeringan dapat merata disemua permukaan
kulit. Proses pengeringan kulit dapat selesai dalam waktu kurang lebih
2-3 hari dengan kondisi panas matahari yang cukup dan penguapan yang
teratur.
Beberapa petunjuk
sederhana untuk mengetahui apakah proses pengeringan telah cukup, yakni
apabila :
- Keadaan
kulit terlihat tembus cahaya (transparan)
- Keadaan
kulit tegang (kaku)
- Bagian
daging dan bulu telah mengering
- Penampang
kulit bila diketuk akan berbunyi nyaring
f. Pelipatan
Setelah kulit
menjadi kering selanjutnya dilepas dari pentangannya dan dilipat dua dengan
arah lipatan membujur dari pangkal ekor menuju ke kepala sejajar dengan
garis punggung dan membagi dua bagian tubuh yaitu kiri dan kanan. Bagian
daging atau bulu dapat ditempatkan pada bagian dalam maupun luar. Setelah
dilakukan pelipatan kemudian kulit dapat disimpan sebagai kulit awetan.
2. Pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan
pengeringan
Kulit segar
setelah bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun kotoran yang melekat
(seperti cara -1) kemudian direndam dalam dalam cairan garam (NaCl) jenuh
dengan kadar kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe selama 1-2
hari. Tingkat kepekatan garam tidak boleh berada dibawah 20oBe.
Kadar salinitas tersebut diukur dengan alat yang disebut Baume meter.
Bila tingkat salinitas mengalami penurunan maka sebaiknya ditambah dengan
garam. Bila alat ukur tersebut tidak dijumpai, maka kadar salinitas dapat
diprediksi dengan formulasi berikut.
Untuk membuat larutan garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka
dibutuhkan garam murni (NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut,
sedangkan bila menggunakan garam teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat air
pelarut. Mengingat garam murni sangat sulit untuk diperoleh dan secara
ekonomis mahal, sehingga lebih baik menggunakan garam teknis (garam kotor) yang
banyak dijual di pasaran.
Standar baku untuk salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1
kg garam murni ke dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk garam
teknis. Berdasarkan acuan tersebut berarti untuk mencapai larutan dengan
tingkat kepekatan 20oBe, berarti untuk penggunaan garam murni
dibutuhkan 20 kg (20 x 1% x 100 = 20) dan untuk garam teknis 30 kg (20 x 1,5% x
100 = 30).
Cara lain untuk menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut, yakni dengan
melarutkan garam ke dalam air sambil diaduk. Bila garam tidak dapat larut
lagi, berarti konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah jenuh , Kulit yang
telah direndam ditiriskan pada bagian atas bak perendaman. Bagian daging
dari kulit tersebut ditaburi kembali dengan garam dengan persentase 10% dari
berat kulit basah dan kulit didiamkan selama 1-2 jam untuk memperbaiki kondisi
peresapan. Kulit kembali dipentang pada bingkai kayu (seperti cara-1)
dengan waktu pengeringan 3-5 hari. Kulit yang telah kering
selanjutnya dilipat (seperti cara-1).
Dalam proses ini
memiliki beberapa keuntungan maupun kerugian antara lain :
a. Keuntungan
- Selama waktu
pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya memerlukan
waktu yang relatif lama misalnya pada saat musim
penghujan.
- Kualitas kulit
menjadi lebih baik dari pada yang dikeringkan saja (cara-1) oleh karena
serat-serat kulit tidak melekat satu sama lain
- Kulit sangat
baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak
membutuhkan waktu yang terlalu lama lagi
b. Kerugian
Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak dibanding
cara-1 karena jumlah penggunaan garamnya bertambah pula
3. Pengawetan dengan cara garam basah
Kulit yang telah
bersih dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam (seperti pada
cara-2). Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan seperti
(cara-2), tetapi kulit diletakkan pada lantai miring yang diatasnya telah
ditaburi dengan garam. Kulit yang berada pada posisi paling bawah
diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging
menghadap keatas.
Bagian berdaging ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah (setelah perendaman). Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi pertama yaitu untuk kulit-kulit yang memiliki bulu pendek seperti sapi, kerbau dan kuda. Jadi bagian daging posisi pertama bersentuhan dengan bagian bulu posisi kedua. Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan maksimal 1 meter. Kulit terakhir yang berada pada posisi atas berfungsi sebagai penutup sehingga posisi penempatannya terbalik dari keadaan semula yaitu bagian bulu menghadap ke atas. Tumpukan kulit didiamkan selama 1 malam hingga air dalam kulit menetes sedikit demi sedikit. Kulit yang telah digarami tersebut didiamkan selama 2-4 minggu supaya cairannya bisa seluruhnya keluar. Dengan demikian kulit dapat dilipat untuk diperdagangkan atau disimpan sebagai kulit garaman.
Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang tidak lebih dari1 meter untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan. Pengawetan dengan cara ini terutama dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki iklim dingin/sejuk yang kurang terkena sinar matahari. Teknik ini digunakan pula untuk pengawetan kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari seperti kulit ikan dan kulit reptil. Seperti halnya cara-2 jenis pengawetan ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian antara lain :
Bagian berdaging ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah (setelah perendaman). Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi pertama yaitu untuk kulit-kulit yang memiliki bulu pendek seperti sapi, kerbau dan kuda. Jadi bagian daging posisi pertama bersentuhan dengan bagian bulu posisi kedua. Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan maksimal 1 meter. Kulit terakhir yang berada pada posisi atas berfungsi sebagai penutup sehingga posisi penempatannya terbalik dari keadaan semula yaitu bagian bulu menghadap ke atas. Tumpukan kulit didiamkan selama 1 malam hingga air dalam kulit menetes sedikit demi sedikit. Kulit yang telah digarami tersebut didiamkan selama 2-4 minggu supaya cairannya bisa seluruhnya keluar. Dengan demikian kulit dapat dilipat untuk diperdagangkan atau disimpan sebagai kulit garaman.
Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang tidak lebih dari1 meter untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan. Pengawetan dengan cara ini terutama dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki iklim dingin/sejuk yang kurang terkena sinar matahari. Teknik ini digunakan pula untuk pengawetan kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari seperti kulit ikan dan kulit reptil. Seperti halnya cara-2 jenis pengawetan ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian antara lain :
a. Keuntungan :
- Pengawetan
tidak tergantung dengan sinar matahari
- Sedikit
sekali terjadi kerusakan kulit
- Proses
perendaman (soaking) dalam proses penyamakan kulit membutuhkan waktu
yang singkat
- Pelaksanaan
cepat dan tidak membutuhkan ruangan yang luas
b. Kerugian :
- Untuk
daerah tropik seperti di Indonesia pengawetan dengan menggunakan garam basah
masih disangsikan keberhasilannya mengingat temperatur ruangan yang sangat baik
untuk pertumbuhan bakteri khususnya bila penyimpanan dilakukan dalam jangka
waktu yang cukup lama. Bakteri yang seringkali ditemukan pada kulit
garaman adalah jenis bakteri halapofilik yang diketahui
relatif tahan terhadap suasana garam.
- Biaya
pengawetan sedikit lebih mahal karena pemakaian garam yang relatif lebih banyak
serta membutuhkan penyimpanan dengan temperatur yang rendah.
4. Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling)
Teknik pengawetan ini terutama dipakai untuk mengawetkan kulit domba (terutama
di New Zaeland, Australia, Amerika dan pabrik-pabrik kulit yang berskala besar
lainnya). Untuk keperluan ekspor kulit dipickle selama 2 bulan atau lebih.
Pengawetan kulit dengan cara dipickle dikerjakan untuk kulit-kulit yang telah
dikeluarkan bulunya melalui proses pengapuran (liming), buang kapur (deliming)
dan telah didegradasi sebagian protein penyusunnya yang disebut bating (beitzing)
(Prosesnya sama dengan tahap pendahuluan dalam proses penyamak kulit).
Proses bating tersebut dilakukan dengan mereaksikan enzim dengan kulit.
Setelah proses bating selesai, kulit diputar dalam cairan asam
(pickle) yang terdiri dari garam dapur (NaCl), asam dan air.
Komposisi yang digunakan adalah 15% NaCl + 1,2% H2SO4 atau
asam lain + 100% air pada pH ± 2,5. Persentase bahan-bahan yang dipakai
diperhitungkan dari berat kulit. Kepekatan cairan pickle antara 10-12 oBe.
Kulit dimasukkan ke dalam cairan pickle secara bersama-bersama diputar dalam
drum berputar (paddle) selama 2 jam dan selanjutnya dilakukan proses
pemerasan (sammying). Kulit yang telah diperas dilipat seperti
cara terdahulu yaitu membujur dari pangkal ekor menuju ke bagian kepala membagi
bagian tubuh menjadi dua yakni kiri dan kanan. Kulit dimasukkan ke dalam
tong kayu dengan bagian dasarnya diberi dengan garam begitu pula di antara
lapisan-lapisan lembar kulit. Bagian kulit paling atas ditaburi garam dan
ditutup rapat. Kandungan air diusahakan tidak lebih dari 40% dengan pH
2-2,5.
Dari keempat jenis
pengawetan kulit tersebut, tentunya masing-masing jenis pengawetan memiliki
keuntungan dan kerugian, namun pada prinsipnya proses pengawetan yang dilakukan
tentunya mengarah kepada suatu upaya bagaimana kulit mentah tersebut memiliki
umur simpan yang maksimal hingga memasuki tahap pengolahan. Selama proses
penyimpanan tersebut struktur penyusun kulit sangat rentan sekali oleh pengaruh
mikroorganisme. Selain itu tentunya perubahan-perubahan yang terjadi pada
struktur penyusun diupayakan dapat diminimalisir.
Tingginya kadar air dan protein pada kulit menyebabkan kulit merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dengan fenomena ini menunjukkan bahwa, produk kulit mentah merupakan produk hasil sampingan pemotongan ternak yang memerlukan penanganan khusus setelah lepas dari tubuh ternak
Selain zat-zat kimia tersebut, di dalam kulit yang masih segar terdapat pula beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam kulit itu sendiri yakni enzim cathepsin, collagenase, dan dopa oxidase. Enzim collagenase disintesis oleh sel fibroblast. Selama hewan masih hidup enzim tersebut dalam bentuk pro-collagenase yang tidak aktif, namun setelah hewan dipotong pro-collagenase tersebut akan menjadi aktif sebagai collagenase yang dapat mencerna serabut kolagen. Selama kulit masih segar setelah lepas dari tubuh dan sebelum mengalami pengawetan dalam kondisi lingkungan yang sesuai, enzim cathepsin bersama-sama dengan enzim collagenase mencerna zat-zat dalam kulit. Kejadian tersebut lazim disebut autolisis. Enzim dopa oxidase memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan warna pada kulit ternak/hewan pada saat masih hidup. Akibat pengaruh sinar ultraviolet, tirosin berubah menjadi dopa yang selanjutnya dopa teroksidasi menjadi senyawa melanin yakni butir zat warna pada kulit (Sarkar, 1995). Warna kulit yang gelap (pada saat masih hidup) kemungkinan disebabkan oleh terekspose dibawah terik matahari dalam jangka waktu lama. Warna kulit berpengaruh terhadap cara pengawetan, dimana warna kulit yang gelap bila diawetkan dengan cara pengeringan, akan cepat mengubah protein kolagen menjadi gelatin (Djojowidagdo, 1999).
Tingginya kadar air dan protein pada kulit menyebabkan kulit merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dengan fenomena ini menunjukkan bahwa, produk kulit mentah merupakan produk hasil sampingan pemotongan ternak yang memerlukan penanganan khusus setelah lepas dari tubuh ternak
Selain zat-zat kimia tersebut, di dalam kulit yang masih segar terdapat pula beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam kulit itu sendiri yakni enzim cathepsin, collagenase, dan dopa oxidase. Enzim collagenase disintesis oleh sel fibroblast. Selama hewan masih hidup enzim tersebut dalam bentuk pro-collagenase yang tidak aktif, namun setelah hewan dipotong pro-collagenase tersebut akan menjadi aktif sebagai collagenase yang dapat mencerna serabut kolagen. Selama kulit masih segar setelah lepas dari tubuh dan sebelum mengalami pengawetan dalam kondisi lingkungan yang sesuai, enzim cathepsin bersama-sama dengan enzim collagenase mencerna zat-zat dalam kulit. Kejadian tersebut lazim disebut autolisis. Enzim dopa oxidase memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan warna pada kulit ternak/hewan pada saat masih hidup. Akibat pengaruh sinar ultraviolet, tirosin berubah menjadi dopa yang selanjutnya dopa teroksidasi menjadi senyawa melanin yakni butir zat warna pada kulit (Sarkar, 1995). Warna kulit yang gelap (pada saat masih hidup) kemungkinan disebabkan oleh terekspose dibawah terik matahari dalam jangka waktu lama. Warna kulit berpengaruh terhadap cara pengawetan, dimana warna kulit yang gelap bila diawetkan dengan cara pengeringan, akan cepat mengubah protein kolagen menjadi gelatin (Djojowidagdo, 1999).
Selain
enzim-enzim yang terdapat dalam kulit itu sendiri juga terdapat pula
enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme penyerang kulit seperti halnya
bakteri, jamur maupun mikroorganisme lain. Gabungan enzim-enzim dari
kulit itu sendiri dengan enzim dari mikroorganisme tersebut akan mempercepat
proses degradasi terhadap komponen kulit dan hasil digestinya
disebut lisis.
Komponen kulit yang paling penting untuk dipertahankan adalah protein kolagen,
karena kolagen merupakan struktur utama yang dibutuhkan dalam proses penyamakan
kulit dan sangat menentukan kualitas akhir dari kulit tersamak (leather).
Dalam upaya mempertahankan struktur kulit sangat perlu dilakukan proses
pengawetan sebelum dilakukan proses penyimpanan.
B.
Teknologi Penyamakan Kulit
Penyamakan kulit merupakan suatu proses untuk mengubah kulit mentah (hide/skin)
yang bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis)
menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut yang biasa disebut kulit
tersamak (leather).
Jenis penyamakan yang kita kenal ada 4, yakni :
1. Penyamakan mineral
Jenis bahan
penyamak yang sering digunakan dalam penyamakan ini antara lain yang berasal
dari golongan aluminium seperti tawas putih (K2SO4 Al2(SO4)3 24
H2O), golongan chrome seperti Cr2O3 (produk
komersial dengan merek Chromosal-B) dan Zirkonium.
Produk kulit jadi (leather) yang biasa dihasilkan melalui
penyamakan ini antara lain : kulit untuk bahan jaket, tas kantor, sepatu dan
lap (chamois)
2. Penyamakan nabati
Jenis bahan
penyamak yang digunakan adalah bahan-bahan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan seperti akar, batang dan daun. Prinsipnya bahwa
semua tumbuh-tumbuhan yang mengandung tannin dapat digunakan.
Contoh tumbuhan yang sering digunakan antara lain : mahoni, pisang, teh,
akasia, bakau. Tumbuhan yang mengandung tannin dicirikan oleh rasa yang
sepat dan reaksi dengan besi seperti pisau menghasilkan warna ungu
kehitaman. Produk kulit jadi yang dihasilkan adalah sepatu sol (sepatu
kerja/sepatu militer/polisi)
3. Penyamakan sintetis
Penyamakan
sintetis menggunakan bahan-bahan dari golongan fenol yang telah dibesarkan
molekulnya melalui proses sulfonasi dan kondensasi.
Produk komersial dijual dengan merekBasyntan, Irgantan dan Tanigan.
Tujuan yang diharapkan dari penyamakan ini adalah memperoleh kulit jadi dengan
menampilkan kesan aslinya. Seperti kulit reptil (ular, buaya biawak)
maupun pada kulit kaki ayam. Melalui teknik penyamakan ini relief (rajah)
khas yang dimiliki masing-masing kulit tetap dipertahankan dan akan tetap
tampak sebagai suatu seni (art) tersendiri.
4. Penyamakan minyak
Jenis bahan
penyamak yang digunakan adalah berasal dari minyak ikan salah satu contohnya
adalah minyak ikan hiu. Dalam perdagangan biasa dikenal dengan nama
minyak ikan kasar. Minyak ikan yang digunakan memiliki ikatan C rangkap
atau bilangan yodium berkisar 80-120. Produk kulit jadi yang
dihasilkan misalnya kulit bulu (zemleer).
C.
Hasil-hasil Olahan Kulit untuk Pangan dan Non Pangan
A .Hasil olahan kulit untuk pangan
Hasil olahan yang berasal dari kulit yang dapat dikonsumsi manusia dapat berupa
kerupuk kulit dan gelatin. Jenis olahan ini telah dikembangkan oleh
Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Unhas (Abustam dkk.,
2003). Sampai saat ini produk kerupuk kulit sudah banyak dikonsumsi oleh
masyarakat baik yang berasal dari ternak besar maupun yang berasal dari unggas
(ayam). Misalnya saja kerupuk kulit cakar ayam maupun kerupuk kulit tubuh
ayam. Di pulau Jawa sendiri, Jenis kerupuk ini telah lama
berkembang, begitu pula di Sulawesi Selatan jenis kerupuk ini sedikit demi
sedikit telah mulai dikenal oleh masyarakat. Di Sumatra Barat sendiri telah
diproduksi secara massal dengan nama “kerupuk jangat” yang sebagian besar
diproduksi dengan bahan dasar kulit kerbau begitu pula di daerah Mataram
kegiatan produksi kerupuk dari kulit telah berkembang dengan pesat.
Pemanfaatan lain dari kulit dalam dunia pangan adalah dalam
bentuk gelatin. Gelatin adalah produk hasil denaturasi dari kolagen.
Kulit yang secara kimiawi komposisi proteinnya terdiri atas 80-90% merupakan
protein kolagen. Protein kolagen ini secara ilmiah dapat
“ditangkap” untuk dikonversi menjadi gelatin. Gelatin secara kimiawi diperoleh melalui rangkaian proses
hidrolisis kolagen yang terkandung dalam kulit. Reaksi yang terjadi
adalah :
C102H149N31O38 +
H2O
C102H151N31O39
Kolagen
Gelatin
Beberapa negara maju maupun negara berkembang menggunakan banyak
produk gelatin dalam kehidupan sehari-hari. Gelatin banyak digunakan sebagai
bahan kosmetik (salep, cream rambut), makanan (pembuatan es krim, permen karet,
pengental, mayonnaise, maupun penjernih anggur buah), bidang teknik (rol
cetak, sablon dalam screen printing, perekat pentil korek api dan
alas hektograf), bidang fotografi (medium pengulas bahan film serta kertas
potret), bidang farmasi dalam bentuk kapsul dan alas makanan dalam bidang
mikrobiologi.
Saat ini gelatin sudah dapat diproduksi dari kulit kaki ayam
melalui proses ekstraksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit kaki
ayam ras pedaging (broiler) yang dicuring dengan asam cuka 1% selama 3
hari telah menghasilkan gelatin dengan kuantitas dan kualitas yang baik
(Abustam dkk., 2002). Berdasarkan data yang ada bahwa Indonesia selama
ini masih mengimpor gelatin dari Eropa dan Amerika yang bahan bakunya
kebanyakan berasal dari kulit babi, meskipun diantaranya berasal dari tulang
sapi maupun kulit sapi. Berita terakhir menyebutkan bahwa bagi warga
Eropa dan Amerika sendiri sudah banyak meragukan kualitas gelatin yang mereka
hasilkan dengan merebaknya kasus penyakit sapi gila (madcow) dan zoonosis yang
menyerang ternak ruminansia khususnya sapi di daerah tersebut. Berkaitan dengan
hal tersebut diketahui pula bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam
sehingga produk gelatin impor yang kemungkinannya berasal dari kulit babi
tersebut merupakan suatu masalah yang cukup serius (LP.POM-MUI,1997). Berdasarkan kasus-kasus tersebut berkembanglah
suatu pemikiran untuk memproduksi gelatin yang relatif lebih aman untuk
dikonsumsi dalam hal ini akan terbebas dari kontaminasi penyakit yang
membahayakan tersebut serta halal bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam.
B. Hasil olahan kulit untuk non pangan
Hasil olahan kulit dalam bentuk non pangan lebih banyak dalam bentuk kulit
tersamak (leather) melalui proses penyamakan. Beberapa jenis
produk leather yang kita kenal adalah sebagai berikut :
Ø Kulit sol
Kulit sol biasanya
berasal dari kulit tebal yang mempunyai struktur serat yang kuat dan padat
misalnya kulit sapi dan kerbau. Jenis kulit ini kaku dan sulit
dibengkokkan. Penggunaannya sebagai bahan sol sepatu untuk militer/polisi
serta pekerja pabrik. Kulit sol diolah dengan melalui penyamakan nabati.
Ø Kulit vache
Kata vache berasal
dari bahasa Perancis “la vache” yang berarti sapi. Kulit ini lebih lemas
dibanding sol dan banyak digunakan untuk sol dalam dan kap pembuatan sepatu
cara modern. Kulitnya berasal dari sapi .
Ø Kulit raam
Kulit raam adalah
jenis kulit vache digunakan untuk menyambung kulit atasan dengan kulit bawahan
dan diperdagangkan sebagai lajuran dengan lebar 12-18 mm dan tebal 1,8-2,2
mm. Warna biasanya disesuaikan dengan warna kulit sapi.
Ø Kulit box
Kata box merupakan
contoh dari kulit atasan yang berasal dari kulit sapi melalui penyamakan
chrome. Sifat kulit ini lemas, struktur kuat serta nerf tidak mudah pecah
dan lepas. Banyak digunakan sebagai bahan sepatu kantor atau kerja.
Ø Kulit fahl
Kulit fahl
merupakan bahan untuk kulit atasan berasal dari kulit sapi yang disamak nabati
dan diberi gemuk tidak berwarna atau berwarna kehitaman. Sifatnya tahan
air, lemas dan kekuatan tariknya tinggi. Banyak digunakan sebagai bahan
sepatu gunung, militer maupun sepatu lapangan
Ø Kulit tahan air
Kulit ini
merupakan kulit atasan melalui proses penyamakan chrome, kombinasi dan
nabati. Kulit diberi gemuk agar tahan terhadap air dan banyak digunakan
sebagai bahan pembuatan sepatu berat, laras, sport dan ski. Kadar
gemuknya mencapai 15-21%. Jenis kulit ini berasal dari kulit sapi
Ø Kulit nubuk dan velour
Kulit ini berasal
dari kulit sapi yang disamak chrome dan pada bagian atas (nerf) digosok
sedikit sehingga bila diraba akan terasa seperti beludru.
Ø Kulit chevrau
Kulit ini dibuat
dari kulit kambing yang disamak chrome yang digunakan sebagai bahan kulit
atasan. Kulit ini biasa juga disebut kulit glase.
Ø Kulit chevrette
Kulit ini berasal
dari domba yang disamak chrome. Kekuatannya sedikit berada dibawah
kulit chevrau sehingga kebanyakan dibuat untuk jenis sepatu rumah.
Ø Kulit blank
Kulit ini
kebanyakan diolah dengan samak nabati sifatnya elastis tidak mudah
dibengkokkan dan kuat. Digunakan sebagai bahan untuk sadel, tas,
ransel. Bahannya berasal dari kulit sapi.
Ø Kulit vachet
Kulit ini berbahan
mentah kulit sapi dan digunakan sebagai bantal pada kursi dan
peralatan-peralatan rumah tangga lainnya.
Ø Kulit mebel
Kulit ini mirip
dengan kulit blank namun jumlah gemuk yang diberikan lebih banyak, elastis dan
kuat.
Ø Kulit halus
Yang tergolong
kulit ini adalah kulit sampul buku dan kulit tas. Bahan mentahnya berasal
dari kulit sapi, kambing dan domba yang disamak nabati
Ø Kulit reptil dan kulit ikan
Kulit reptil
antara lain kulit ular, biawak dan buaya. Produk ini dipergunakan
untuk produksi sepatu, tas wanita, dompet maupun ikat pinggang. Proses
penyamakannya melalui penyamakan nabati dan chrome. Untuk kulit ikan diperoleh
dari kulit anjing laut, ikan hiu dan pari.
Ø Kulit ban mesin
Jenis kulit ini
berasal dari kulit sapi yang diproses dengan penyamakan nabati dan
chrome. Sifatnya harus kuat, lemas dan sedikit mengalami kemuluran
Ø Kulit manchet
Jenis kulit ini
banyak dipergunakan untuk peralatan pompa, pipa air, pentil. Kulit ini
berasal dari kulit sapi dan kambing.
Ø Kulit tekstil
Jenis kulit ini
digunakan untuk keperluan alat-alat teknik antara lain bagian-bagian dari
alat tenun misalnya pecker, roda gigi (dapat berjalan tanpa
berbunyi). Bahannya berasal dari kulit sapi dan kerbau.
Ø Kulit pelindung kerja
Jenis kulit ini
banyak dipakai sebagai bahan untuk pembuatan barang-barang yang berfungsi dalam
perlindungan bagi tubuh seperti sarung tangan dan peci. Bahan mentahnya berasal
dari kulit sapi dengan konsistensi lemas
Ø Kulit sarung tangan
Jenis kulit harus
tipis, lemas dan lentur. Biasanya putih atau berwarna-warni. Bahan
mentahnya dapat berasal dari kulit kambing, domba rusa dan babi.
Prosesnya melalui penyamakan chrome, kombinasi chrome dengan minyak.
Ø Kulit pakaian
Yang termasuk
dalam produk ini adalah barang kulit berupa mantel ataupun jaket. Bahan mentah
berasal dari kulit domba, kambing, sapi dan kuda.
Ø Kulit pengisap keringat
Kulit ini biasanya
dipasang pada topi. Prosesnya dengan penyamakan nabati. Bahan
mentahnya berasal dari kulit domba, kambing dan babi